Featured

Headlines

Hambatan Besar di Bahan Baku

Pengurangan emisi menjadi fokus pemerintah, energi terbarukan sudah berjalan meski belum optimal. Di Kalimantan Timur (Kaltim), sudah ada 6 pabrik B40. Sayangnya, bahan baku masih dari luar, karena rantai pasok sawit belum optimal.

Kepala Dinas ESDM Kalimantan Timur, Bambang Arwanto, menegaskan bahwa Kaltim harus bersiap menghadapi fase baru sektor energi akibat komitmen Indonesia pada Paris Agreement.

Perjanjian global tersebut mewajibkan negara-negara melakukan pengurangan emisi secara signifikan, dan dampaknya langsung terasa pada daerah yang selama ini mengandalkan batu bara sebagai tulang punggung ekonomi.

Menurut Bambang, permintaan batu bara global diproyeksi turun 30 persen pada tahun 2030, dan akan semakin menurun hingga 70 persen pada tahun 2045. Kondisi ini membuat ketergantungan Kaltim pada energi fosil tidak lagi berkelanjutan.

“Kalau kita taat pada Paris Agreement, maka penurunan permintaan batu bara itu sudah pasti. Artinya Kaltim harus bertransformasi, tidak bisa lagi mengandalkan energi fosil,”ungkapnya Minggu, (30/11/2025).

Ia mengingatkan, bahwa tahun 2030 tinggal hitungan tahun dan perubahan besar akan datang jauh lebih cepat dari yang dibayangkan. Di sisi lain, Kaltim sebenarnya memiliki peluang besar untuk menjadi pusat energi hijau nasional, terutama melalui industri biodiesel. Saat ini Kaltim telah memiliki sekitar enam pabrik refinery yang memproduksi biodiesel jenis B40.

Keberadaan refinery-refinery ini menjadi penanda, bahwa Kaltim bukan sekadar daerah tambang, tetapi juga sudah mulai masuk dalam rantai industri energi terbarukan. “Refinery-refinery ini memproduksi B40. Ini titik balik kita menuju energi terbarukan. Kaltim bisa menjadi pusat industri biodiesel,”kata Bambang.

Lanjutnya, Indonesia saat ini tengah berada pada masa transisi dari B35 menuju B40, dan beberapa tahun ke depan akan dilanjutkan ke B50 hingga B60. Peran Kaltim dalam industri biodiesel dinilai sangat strategis karena seluruh proses pencampuran biodiesel, atau blending, dilakukan di wilayah ini. Dengan posisi Kaltim sebagai hub energi di Kalimantan dan kawasan timur Indonesia, proses distribusi menjadi jauh lebih efisien.

Lebih dari itu, peluang ekspor biodiesel juga terbuka lebar karena fasilitas dan infrastruktur yang sudah tersedia. “Blending-nya di sini, dan bisa diekspor dari sini. Itu menumbuhkan devisa untuk Kaltim,”ujarnya.

Baca Juga:  Biang Bencana Ekologis

Perkembangan terbaru juga ditandai dengan beroperasinya pabrik refinery milik perusahaan Korea, POSCO, di Balikpapan, yang mampu menghasilkan hingga 500.000 ton POME per tahun. Meski demikian, Bambang mengakui bahwa refinery besar tersebut masih harus mengambil bahan baku dari Manokwari karena rantai pasok sawit di Kaltim belum tertata optimal.

Keterbatasan bahan baku inilah yang menurut Bambang menjadi salah satu hambatan terbesar bagi Kaltim dalam memperkuat industri biodiesel. Meskipun Kaltim memiliki areal perkebunan sawit yang luas, pasokan CPO dan POME sebagai bahan baku biodiesel belum terjamin. Akibatnya, terjadi perebutan bahan baku antarindustri dan beberapa pabrik harus mengambil pasokan dari luar daerah.

“Sekarang terjadi rebutan bahan baku. Kaltim ini punya sawit besar, tapi rantai pasoknya tidak tertata. Bahkan refinery harus ambil dari Manokwari,”jelasnya.

Jadi, penguatan hulu sawit dan integrasi antarindustri energi terbarukan menjadi kunci agar Kaltim tidak hanya menjadi tempat refinery, tetapi juga pusat produksi bahan baku. Dalam konteks energi secara umum, Bambang kembali mengingatkan bahwa komposisi energi Kaltim masih didominasi oleh sumber fosil.

“Kita ini masih 70 persen lebih bergantung pada energi fosil. Padahal IKN di depan mata menuntut konsep energi hijau,”ujarnya.

Adapun, Ibu Kota Nusantara ditargetkan menggunakan energi hijau hingga 50 persen pada fase awal, tetapi Kaltim sebagai wilayah penyangga justru masih berada pada level sekitar 30 persen porsi energi bersih.

Menurutnya, kesenjangan ini berpotensi menjadi hambatan besar apabila tidak diantisipasi sejak dini. IKN yang dirancang sebagai kota hijau dan berbasis energi bersih membutuhkan dukungan sistem energi yang stabil dari daerah sekitar. Jika Kaltim tidak mempercepat transisi energi, akan ada ketimpangan antara pusat pemerintahan dan wilayah penyangga.

Bambang menilai, bahwa upaya transisi energi tidak bisa hanya berupa proyek jangka pendek atau kegiatan seremonial seperti pemasangan PLTS atap di beberapa kantor pemerintahan. Ia menegaskan bahwa transisi energi adalah proses sistemik yang melibatkan infrastruktur besar, tenaga terlatih, serta komitmen investasi jangka panjang.

Baca Juga:  2026, Pengeboran Lebih Masif

“Transisi energi itu bukan bagi-bagi PLTS. Ini sistem, bukan seremonial. Ada maintenance, pelatihan teknis, jangka panjang,”terangnya.

Karena itu, Ia mendorong agar pemerintah daerah memiliki roadmap energi yang lebih konkret, terukur, dan selaras dengan kebutuhan IKN. Roadmap tersebut harus mencakup penentuan zona industri energi hijau, penguatan transmisi dan distribusi listrik, integrasi biomass dan solar farm, serta skema pembiayaan yang menarik bagi investor.

Selain itu, peluang investasi di sektor energi terbarukan dinilai sangat besar. Kaltim memiliki radiasi matahari yang tinggi, sumber biomassa melimpah dari sektor sawit, serta kedekatan dengan jalur ekspor maritim. Hal ini membuka peluang bagi pengembangan berbagai jenis pembangkit energi hijau seperti PLTS skala utilitas di lahan reklamasi bekas tambang, pembangkit biomassa berbasis limbah sawit, hingga infrastruktur penyimpanan energi seperti battery storage.

“Dengan enam refinery saja, kita bisa menjadi hub biodiesel Indonesia timur,”bebernya.

Namun, perubahan struktur energi ini juga membawa dampak pada sektor ketenagakerjaan. Bambang menyampaikan bahwa ribuan tenaga kerja di sektor batu bara harus bersiap menghadapi pergeseran besar karena industri fosil menuju fase sunset. Pada saat yang sama, industri energi hijau membutuhkan tenaga ahli baru seperti teknisi PLTS, analis biomassa, operator baterai, dan auditor energi. Tanpa pelatihan ulang yang memadai, Kaltim berisiko tertinggal dalam kesiapan SDM.

“Tenaga kerja kita sudah sangat terbiasa dengan batu bara. Nanti akan ada perpindahan sektor. Mereka harus reskilling,”jelasnya.

Pemprov Kaltim, menurutnya, telah menyiapkan 12 sektor transformasi ekonomi yang menjadi arah baru pasca-fosil, termasuk sektor pangan, pertanian modern, udang windu, migas nonfosil, dan energi terbarukan.

Bambang menbeberkan bahwa seluruh perubahan ini tidak boleh dianggap isu jangka panjang semata, melainkan agenda yang harus dikejar sejak sekarang.

“Paris Agreement itu bukan wacana. Batu bara akan turun. Industri B40 sedang tumbuh. Kita punya enam refinery, tapi itu tidak cukup kalau tidak didukung bahan baku dan roadmap energi yang jelas,”pungkasnya. (Mayang/ARIE)

Leave Comment

Related Posts