Polemik di DPRD Kalimantan Timur terkait hasil penetapan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kaltim menuai sorotan. Objektivitas dipertanyakan.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mulawarman, Saiful Bachtiar menilai, reaksi Fraksi PKB yang merasa tidak dilibatkan dalam proses penentuan komisioner justru membuka pertanyaan publik tentang objektivitas seleksi yang selama ini dianggap berjalan sesuai aturan.
Idealnya, persoalan internal seperti perbedaan sikap antarfraksi terkait penetapan hasil seleksi tidak sampai mengemuka dan menjadi polemik terbuka. “Mestinya masalah seperti ini tidak sampai keluar ke ruang publik. Artinya ada hal-hal yang perlu diperbaiki di internal DPRD sendiri,”ujarnya.
Menurut Saiful, polemik ini memunculkan spekulasi di tengah masyarakat mengenai kemungkinan adanya “jatah-jatahan” antarfraksi dalam penentuan komisioner. Padahal, proses seleksi KPID secara regulasi harus dilakukan secara terbuka dan berbasis indikator penilaian yang jelas.
“Pertanyaannya sekarang, apakah selama ini proses seleksi komisioner KPID betul-betul objektif? Atau jangan-jangan sudah ada orang-orang tertentu yang sejak awal dikawal oleh fraksi-fraksi,” kata Saiful saat dihubungi Senin (24/11/2025).
Ia menambahkan, publik bertanya apakah fenomena serupa juga terjadi pada seleksi-seleksi sebelumnya. “Kalau memang dari awal sudah ada jatah masing-masing fraksi, berarti ada indikator yang tidak rasional. Nilainya tinggi atau tidak, bukan itu yang menentukan. Yang menentukan adalah siapa yang dikawal,”tegasnya.
Saiful menyebut, sikap PKB yang merasa dirugikan bisa jadi muncul karena calon yang mereka dukung tidak lolos, meski secara persyaratan dianggap memenuhi kriteria. Jadi, DPRD harus memberikan penjelasan transparan mengenai mekanisme seleksi, mulai dari indikator penilaian hingga keputusan akhir baik secara voting maupun aklamasi.
“Dalam konsep good governance, harus ada penjelasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dasarnya jelas, indikatornya jelas, dan sesuai peraturan perundang-undangan serta tata tertib pemilihan,”ucapnya.
Jika proses sudah dilakukan sesuai aturan, lanjut Saiful, seharusnya tidak ada fraksi yang merasa ditinggalkan atau tidak dilibatkan. Namun kejadian ini justru menimbulkan kecurigaan bahwa penentuan komisioner tidak sepenuhnya berdasarkan merit.
Dia menilai, momentum ini penting untuk membuka ruang diskusi yang selama ini tidak muncul ke permukaan. Bahkan, PKB perlu menyampaikan secara terbuka bila memang terdapat proses yang tidak transparan.
“PKB buka saja ke ruang publik kalau memang ada proses-proses tertentu yang selama ini tidak diketahui masyarakat. Selama ini publik menganggap seleksi itu objektif. Tapi dengan fenomena seperti ini muncul pertanyaan besar: jangan-jangan seleksi hanya formalitas, sementara nama-namanya sudah ada sejak awal,”ujarnya.
Menurutnya, dugaan semacam ini tidak hanya bisa melekat pada seleksi KPID, tetapi juga pada komisi-komisi lain yang penentuannya diserahkan kepada DPRD, seperti Komisi Informasi atau lembaga serupa.
Saiful menegaskan bahwa seleksi yang tidak objektif berpotensi merusak kualitas kelembagaan KPID itu sendiri. KPID sebagai lembaga publik membutuhkan komisioner yang memiliki kapasitas, kapabilitas, integritas, dan profesionalitas.
“Kalau orang-orang yang terpilih tidak melalui proses objektif, ya tentu akan berpengaruh pada kualitas lembaga. Personal yang tidak memenuhi standar akan membuat komisi tidak optimal menjalankan tugas dan kewenangannya,”katanya.
Bila terdapat unsur subjektivitas atau pengawalan politik sejak awal, maka ruang bagi kandidat yang sebenarnya memenuhi syarat menjadi tertutup.
“Ada orang-orang yang layak tapi tidak terpilih karena prosesnya sudah dikondisikan. Ini tidak bagus bagi KPID ke depan,” bebernya.
Semua evaluasi harus dimulai dari proses seleksi itu sendiri. “Kalau mau memperbaiki KPID, hulunya harus diperbaiki dulu. Seleksi harus objektif, indikator harus jelas, dan prosesnya bisa diukur. Dengan begitu komisioner yang terpilih benar-benar yang layak,” katanya.
Lebih jauh, Saiful menjelaskan bahwa pemilihan komisioner KPI sebenarnya sudah memiliki landasan hukum yang kuat. Ia menyebut bahwa proses tersebut berlandaskan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjadi fondasi pembentukan KPI, kemudian diperkuat dengan sejumlah Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan teknis mengenai kedudukan dan mekanisme kerja KPI.
Pada level kementerian, keputusan menteri juga turut memberikan regulasi pelaksana terkait aspek teknis seleksi. Selain itu, KPI mempunyai pedoman internal yang mengatur tata cara seleksi, proses penilaian, hingga mekanisme penetapan komisioner. Rangkaian payung hukum ini, menurut Saiful, mestinya menjadi jaminan bahwa proses seleksi berlangsung objektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Proses seleksi semestinya juga berpegang pada tiga prinsip dasar lain. Pertama, kriteria calon, yang mencakup latar belakang pendidikan, rekam jejak profesional, serta kompetensi di bidang penyiaran atau kebijakan publik. Kedua, transparansi proses seleksi, yang menurutnya wajib melibatkan unsur independen agar setiap tahap berjalan profesional dan objektif.
Ketiga, prosedur pemilihan, yang idealnya dilakukan secara demokratis, terbuka, dan akuntabel. Dengan payung hukum dan standar seleksi yang lengkap, Saiful menilai mestinya tidak ada ruang bagi proses subjektif maupun upaya “mengawal” kandidat tertentu.
“Dengan aturan yang jelas, seharusnya seleksi berjalan baik dan menghasilkan komisioner yang berkualitas dan independen,”pungkas Saiful.
Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Kaltim tidak puas dengan hasil seleksi KPID Kaltim.
Ketua Fraksi PKB DPRD Kaltim Damayanti, menyampaikan kekecewaan mendalam terkait keputusan Komisi I DPRD Kaltim, yang menetapkan hasil uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kaltim periode 2025-2028.
Menurutnya, fraksi PKB tidak dilibatkan dalam proses yang seharusnya strategis bagi partai, meskipun ketua Komisi I juga berasal dari kader PKB.
“Kami sangat kecewa atas putusan yang dikeluarkan oleh teman-teman panitia, dalam hal ini Komisi I, yang berkaitan dengan calon anggota KPID. Komisi I itu ketuanya dari PKB, sementara PKB memiliki posisi strategis sebagai salah satu unsur pimpinan DPRD.”
“Namun kenyataannya, keberadaan kami seolah tidak ada karena tidak dilibatkan dan tidak diberi kesempatan memberikan masukan,”ujar Damayanti, belum lama ini.
Dia menjelaskan bahwa saat semua fraksi dimintai pendapat mengenai kandidat KPID. Namun, PKB sama sekali tidak memperoleh informasi maupun kesempatan menyampaikan masukan.
“Rasa kekecewaan kami semakin kuat karena seolah-olah suara kami tidak didengar. Dari tujuh fraksi di DPRD, hanya PKB yang tidak dikonfirmasi, sementara fraksi-fraksi lain mendapatkan kesempatan memberikan pendapat,” kata Damayanti.
Damayanti yang juga Anggota Komisi IV itu menekankan bahwa kekecewaan ini bukan sekadar persoalan prosedur, tetapi juga menyangkut harga diri fraksi. (mayang/arie)













