Featured

Headlines

Dibebaskan, Ditangkap Lagi

Sempat dibebaskan, Misran Toni, aktivis yang menyuarakan penolakan tambang ilegal di Muara Kate, kembali ditangkap. Termasuk pengacaranya. Aparat dinilai semena-mena.

Aksi masyarakat sipil di depan Polda Kaltim, pada Rabu 19 November 2025, berubah menjadi ruang kritik terhadap penanganan kasus warga Muara Kate, Misran Toni, yang telah ditahan lebih dari 100 hari.

Aktivis lingkungan Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, dalam orasinya menyoroti keselamatan warga, kerusakan jalan akibat aktivitas tambang, dugaan penyimpangan prosedur hukum, hingga ancaman kriminalisasi seiring disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Puluhan peserta aksi memenuhi sisi depan Polda Kaltim. Di tengah mereka spanduk dan pengeras suara, Pradarma menyampaikan kondisi yang menurutnya terjadi sejak lama di wilayah Paser. Ia menyinggung jalan negara sepanjang 120 kilometer yang disebutnya rusak akibat aktivitas hauling batu bara.

Bahwa konflik tambang dan tekanan terhadap warga tidak hanya terjadi di daerah tertentu.”Ini tidak hanya terjadi di Jawa, tidak hanya di Sumatera, atau di Papua. Di Kalimantan, jalan negara sepanjang 120 kilometer dari Tabalong sampai perbatasan Kaltim rusak karena ditimbun bandit-bandit tambang,” ucapnya.

“Siapa yang mendapatkan kepentingan besar? Bukan masyarakat. Justru masyarakat yang berhadapan langsung dengan bahayanya,” sebut Pradarma.
Penanganan aparat yang menurutnya gagal melihat akar masalah konflik. “Ada warga yang dikorbankan sebagai tersangka. Padahal persoalannya jelas yakni keselamatan masyarakat dan penggunaan jalan umum,” tutur Pradarma dalam orasi itu.

Penahanan Misran Toni, baginya, prosedur yang diterapkan aparat menimbulkan pertanyaan.

Ia juga menautkan situasi tersebut dengan kekhawatiran atas RKUHAP yang telah disahkan. Diketahui, regulasi itu resmi disahkan menjadi undang-undang oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna ke-8 Masa Persidangan II Tahun 2025, pada 18 November 2025.
UU baru ini akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Pengesahan pun memicu penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil yang menyebut sejumlah pasal berpotensi memperluas ruang kriminalisasi terhadap warga serta proses pembahasan yang dinilai kurang transparan dan partisipatif.

“Jika sebelum RKUHP saja sudah begini, bagaimana nanti ketika aturan baru memberi ruang lebih luas untuk menindak warga? Ini ancaman,” tekannya.
Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Balikpapan, Ardiansyah, yang dalam hal ini menjadi bagian dari Tim Advokasi pun menyampaikan, bahwa aksi di depan Markas Polda Kalimantan Timur ini bertujuan menuntut keadilan atas kriminalisasi yang dilakukan Polres Paser.

“Aksi kami pada hari ini di depan Markas Polda Kalimantan Timur terkait dengan kriminalisasi yang dilakukan oleh Polres Paser, atas peristiwa pembunuhan di Muara Kate satu tahun yang lalu,” ujar Ardiansyah saat ditemui usai aksi.
Aksi yang dimulai sekitar pukul 09.00 Wita ini juga merupakan bentuk peringatan satu tahun tragedi pembunuhan di Muara Kate.

Baca Juga:  Setara 3 Provinsi Sumatera

Adapun peristiwa tersebut bermula dari penolakan masyarakat adat Dayak Deah terhadap tambang ilegal dan aktivitas hauling batu bara di jalan umum oleh PT Mantimin Coal Mining (MCM) yang menimbulkan banyak korban.
PBH Peradi Balikpapan mengajukan tiga tuntutan utama kepada Kapolda Kalimantan Timur terkait proses penyidikan yang dinilai bermasalah.

Pertama, pengeluaran tersangka Misran Toni dari tahanan atas alasan kepentingan penyidikan yang dilakukan Polres Paser pada bulan lalu. Ardiansyah menjelaskan, bahwa Polres Paser mengeluarkan Misran Toni dari tahanan dengan alasan pembantaran untuk kepentingan penyidikan.

“Sementara kita semua tahu bahwa pembantaran ini adalah untuk kepentingan tersangka, namun dikeluarkannya itu atas alasan kepentingan penyidikan. Akibat hukumnya, pembantaran itu tidak lagi dihitung dalam masa penahanan, yaitu selama delapan hari,” jelasnya.

Tuntutan kedua berkaitan dengan status penahanan Misran Toni yang telah habis masa penahanannya. Secara administrasi, kata tersangka sudah dilepaskan dan surat pengeluaran dari tahanan telah diterbitkan.

Namun, Ardiansyah mengungkapkan, bahwa secara fisik Misran Toni masih ditahan di Polres Paser hingga saat aksi berlangsung hari ini.
Pengaduan ketiga menyangkut penangkapan Faturrahman, anggota tim hukum PBH Peradi Balikpapan, dengan alasan yang tidak jelas. Faturrahman ditangkap pada Selasa malam pukul 22.00 Wita bersamaan dengan Misran Toni.

Ardiansyah menegaskan bahwa rekan mereka telah menjalankan tugasnya sebagai pengacara dengan baik dan beretika. Penangkapan Misran Toni dan Faturrahman terjadi saat tim kuasa hukum menjemput Misran dari tahanan, setelah mendapat surat pengeluaran tahanan resmi. Sekitar lima kilometer dari markas Polres Paser, mereka dicegat di tengah jalan dan ditangkap kembali.

“Tadi malam, karena Misran Toni sudah dilepaskan secara resmi dengan surat, tim kami menjemput beliau dari tahanan. Saat kami membawanya pulang ke rumah, kurang lebih lima kilometer dari markas Polres Paser, kami dicegat di tengah jalan dan Misran Toni ditangkap kembali beserta rekan kami,” kata Ardiansyah.

Hingga saat aksi berlangsung, PBH Peradi Balikpapan belum menerima informasi mengenai status penahanan atau penangkapan kedua orang tersebut. Ketidakjelasan status hukum ini menurutnya menjadi salah satu alasan utama pengaduan ke Polda Kaltim.

Baca Juga:  Kematian Upin Misterius

Di sisi lain berdasarkan informasi yang dihimpun, masyarakat adat Dayak Deah di Muara Kate mengalami dugaan serangkaian kekerasan setelah menolak tambang ilegal dan aktivitas hauling batu bara di jalan umum oleh PT Mantimin Coal Mining (MCM). Aktivitas ini pun menimbulkan banyak korban, salah satunya Pendeta Pronika.

Sejak 2023, hauling MCM melintas tanpa penindakan dari pihak berwenang. Warga, termasuk ibu-ibu dan anak muda di Batu Kajang Marah, terpaksa berjaga siang dan malam untuk menghentikan truk batu bara yang mencoba melintasi jalan warga.

Dari peristiwa tersebut, menurut Ardiansyah satu warga dikambinghitamkan sebagai tersangka akibat ketidakmampuan kepolisian melihat akar masalah di lapangan. Dalam laporannya, PBH Peradi Balikpapan mendesak Kapolda Kalimantan Timur untuk memproses tindakan Kapolres Paser yang diduga melanggar etika. Mereka juga meminta agar jajaran yang terlibat langsung dalam penangkapan dan tindakan yang tidak sesuai hukum dan konstitusi diproses.

Ardiansyah menjelaskan bahwa kasus yang ditangani Polres Paser hingga kini belum dilimpahkan ke Kejaksaan. “Mengapa sampai hari ini kasus tersebut belum dilimpahkan? Hal ini berarti bahwa Kapolres Paser belum memiliki cukup bukti untuk dilimpahkan ke kejaksaan,” tuturnya.

Menurutnya, dalam laporan ke Kapolda Kaltim, mereka meyakini bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan Misran Toni sebagai tersangka dalam kasus pengaduan tersebut.
Jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, PBH Peradi Balikpapan telah menyiapkan upaya hukum lanjutan. Mereka sudah mengirim surat keberatan kepada Kapolri untuk segera menindak jajaran di Polres Paser.

“Jika sampai sore ini rekan kami belum dilepaskan, dalam waktu dekat kami akan mengajukan peradilan untuk mempertanyakan penangkapan yang tidak berdasar hukum ini,” pungkas Ardiansyah.

Diberitakan sebelumnya, Kabid Humas Polda Kaltim, Kombes Pol Yuliyanto mengungkapkan bahwa penangkapan terhadap seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Misran Toni tidak mungkin dilakukan tanpa bukti yang cukup.

“Kalau ada orang mengatakan kriminalisasi, itu tidak benar. Tidak ada upaya kriminalisasi. Semua berdasarkan petunjuk dan alat bukti yang diperoleh penyidik,” tambahnya.

Menurut Kombes Pol Yuliyanto, seluruh bukti yang dikumpulkan penyidik dituangkan dalam berkas perkara. Berkas tersebut kemudian diajukan ke kejaksaan dan akan diuji di pengadilan.

“Apakah alat bukti yang disampaikan penyidik bisa dibuktikan di pengadilan atau tidak, endingnya ada di pengadilan. Tapi penyidik meyakini tidak ada kriminalisasi,” tegasnya.(salsa/Chandra)

Leave Comment

Related Posts