Featured

Headlines

Pengamat: Warga Frustasi

Pemerintah pusat dianggap benar-benar tak adil bagi daerah, dana bagi hasil (DBH) dari pengerukan sumber daya alam Kalimantan Timur (Kaltim), tak sepadan dengan dampak ekonomi yang dirasarakan masyarakat, apalagi dampak lingkungan.

Desakan sekelompok masyarakat untuk menutup alur sungai sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah memantik perhatian publik. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Mulawarman, Saiful Bachtiar, menilai ancaman tersebut merupakan puncak frustrasi warga terhadap ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam dan minimnya transparansi Dana Bagi Hasil (DBH) yang selama ini dirasakan daerah penghasil.

Menurut Saiful, aksi ekstrem seperti itu muncul karena masyarakat merasa ruang hidup mereka terancam, sementara manfaat ekonomi maupun lingkungan tidak kunjung kembali ke mereka.

“Ketika masyarakat sudah sampai pada titik ingin menutup alur sungai, itu artinya ada persoalan serius yang tidak diselesaikan negara. Ini puncak dari akumulasi kekecewaan,”ujarnya saat dihubungi, Minggu (16/11/2025).

Saiful menjelaskan bahwa kelompok masyarakat yang mengancam menutup sungai sebagian besar merupakan komunitas yang hidup di sekitar daerah aliran sungai mulai dari nelayan tradisional, masyarakat adat, hingga kelompok pemerhati lingkungan. Mereka melihat langsung kerusakan sungai, turunnya kualitas air, hilangnya mata pencaharian, dan meningkatnya aktivitas ekstraktif yang tidak mereka rasakan manfaatnya.

“Sungai bukan hanya aliran air. Itu ruang hidup, identitas budaya, dan sumber ekonomi. Ketika itu rusak, masyarakat kehilangan banyak hal sekaligus,”kata Saiful.
Ia menyebut bahwa berbagai tekanan itu muncul secara berlapis. Pertama, dampak lingkungan yang tidak tertangani. Kedua, lemahnya komunikasi pemerintah kepada masyarakat. Ketiga, ketidakjelasan manfaat yang seharusnya diterima warga dari aktivitas industri di wilayah mereka.

“Ketika kebijakan diambil pusat, tapi masyarakat hanya menanggung akibat tanpa mendapatkan manfaat, itu memantik kemarahan. Di situ aksi ekstrem seperti penutupan sungai muncul,” terang dia.
Saiful menyebut bahwa ancaman penutupan sungai tidak dapat dilepaskan dari konteks lebih besar, yakni keluhan daerah terhadap ketidaktransparanan DBH. Meski dasar hukumnya sudah tercantum dalam regulasi nasional terkait hubungan keuangan pusat dan daerah, masyarakat dan daerah tetap mempertanyakan bagaimana angka DBH dihitung, bagaimana nilainya ditetapkan, dan apakah tidak ada unsur pemotongan sepihak

Baca Juga:  Malu Dengan Daerah Lain

“Publik mendengar angka-angka besar dari hasil alam. Tapi ketika melihat pembangunan di daerah mereka, tidak ada yang mencerminkan besarnya kontribusi tersebut. Di sinilah kecurigaan muncul,”tegasnya.
Saiful menilai, bahwa persoalan DBH sering kali disampaikan pemerintah secara teknis dan normatif. Namun bagi masyarakat, penjelasan itu tidak menjawab pertanyaan inti: apakah manfaat sumber daya alam kembali ke daerah penghasil?

“Transparansi bukan hanya soal menyebut dasar UU. Yang dibutuhkan masyarakat adalah data, perhitungan terbuka, dan bukti bahwa DBH benar-benar dipakai untuk kebutuhan publik,” tuturnya.
Selain kritik terhadap pusat, Saiful menilai pemerintah daerah juga belum maksimal menjembatani kepentingan masyarakat. Menurutnya, pemda seharusnya memeriksa ulang perhitungan DBH, menyampaikan sikap resmi jika ada yang dianggap tidak tepat, dan melakukan dialog publik sebelum terjadi gejolak sosial.

“Sering kali pemda hanya menyampaikan ulang narasi pusat tanpa melakukan klarifikasi data dan kajian. Padahal masyarakat ingin mendengar sikap tegas daerah, bukan sekadar pengulangan penjelasan,” ujarnya.
Ketidakjelasan posisi pemerintah daerah, memperlebar jarak antara masyarakat dan pembuat kebijakan. Ketika masyarakat merasa tidak ada yang membela, maka protes ekstrem menjadi pilihan.

Menurut Saiful, meski menutup alur sungai tidak bisa dilakukan sepihak oleh masyarakat, tuntutan itu memiliki makna simbolik yang besar. Ini adalah bentuk tekanan sosial untuk memaksa pemerintah turun tangan, memahami akar masalah, dan mengambil langkah pemulihan.

“Pesan mereka jelas: ‘Kami sudah tidak percaya lagi pada mekanisme formal. Rapat-rapat tanpa hasil yang jelas,’ Dan itu berbahaya jika tidak segera ditangani,”sebutnya.
Ia menegaskan, bahwa respons pemerintah harus fokus pada penyelesaian masalah, bukan hanya meredam aksi. Pemerintah harus mengevaluasi kondisi sungai, dampak industri, pembagian manfaat ekonomi, dan transparansi DBH secara menyeluruh.
Saiful menegaskan, langkah paling penting adalah membangun kembali kepercayaan publik. Hal itu hanya bisa dicapai dengan menghadirkan data terbuka, memastikan tidak ada pemotongan DBH tanpa dasar yang jelas, dan memperbaiki tata kelola lingkungan yang konkret.
Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak akan meminta hal ekstrem apabila mereka merasa dihargai dan dilibatkan.

Baca Juga:  Dibebaskan, Ditangkap Lagi

“Kalau negara hadir dengan data yang terbuka, dialog yang jujur, dan perbaikan lingkungan yang nyata, masyarakat tidak akan mengambil langkah ekstrem. Ini pesan yang sangat jelas dari masyarakat: kami ingin didengar, kami ingin keadilan, kami ingin transparansi. Sepanjang itu belum terpenuhi, tuntutan ekstrem seperti menutup alur sungai akan terus muncul,” pungkasnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Komite I DPD RI, Andi Sofyan Hasdam, turut menanggapi dinamika tersebut. Ia menyebut aksi menutup alur Sungai Mahakam memang merupakan hak masyarakat, namun langkah itu sebaiknya tetap mengedepankan jalur dialog.

“Silakan saja kalau mau blokir, tapi negosiasi harus didahulukan,”ujarnya.
Andi Sofyan mengingatkan, bahwa ketika satu daerah melakukan aksi ekstrem, potensi daerah lain untuk meniru bisa ikut muncul, sebab banyak provinsi di Indonesia yang hidup dari dana perimbangan.
Ia mencontohkan daerah seperti Riau dan Aceh yang juga bergantung pada skema dana bagi hasil. Karena itu, menurutnya, masyarakat luar tidak perlu cemburu pada tuntutan Kaltim sebagai daerah penghasil.

“Uang tambang yang mengalir itu hasil dari sumber daya di sini, dan kerusakannya juga terjadi di sini. Jadi wajar kalau Kaltim menuntut lebih,”kata Andi Sofyan.
Dengan menguatnya tekanan dari warga hingga pemerintah daerah, polemik alur sungai dan keadilan dana bagi hasil kini bukan lagi sekadar isu administratif, melainkan cermin ketegangan yang lebih besar antara daerah penghasil dan pemerintah pusat.
Para pemangku kepentingan berharap dialog terbuka dapat segera ditempuh, sehingga eskalasi di lapangan dapat dicegah dan kebijakan yang lahir benar-benar mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat Kalimantan Timur. (Mayang/ARIE)

Leave Comment

Related Posts