Featured

Headlines

Antara Harapan dan Ketakutan

Keinginan membangun PLTN di Indonesia masih sebatas imaji. Mereka yang kontra menjadikan isu lingkungan sebagai alasan. Tapi, bagi yang pro, ini merupakan alternatif pengganti energi fosil.

Pertengahan 2015, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak punya ambisi. Ingin membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kaltim. Tak cuma omon-omon. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) digandeng. Kesepakatan pun terjalin. Kepala Batan saat itu, Djarot Sulistio Wisnubroto, setuju melakukan kajian pengembangan pembangunan PLTN di Talisayan, Berau.

Rencana ‘manis’ ini akhirnya terendus hingga negeri Tiongkok. Perusahaan PLTN asal Tiongkok, China General Nuclear Power Group (CGN), sampai sempat bertatap muka dengan Awang Faroek.
Di atas kertas, rencana tersebut memang terbilang ambisius. Namun, seiring berjalannya waktu, niat membangun PLTN pupus. Bersamaan dengan berakhirnya masa jabat Awang Faroek.

Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas ESDM Kaltim, Achmad Pranata turut menceritakan kenangan itu. Awalnya PLTN hanya untuk menjangkau listrik di daerah pesisir dan pedalaman.
Pembahasan antara pemprov dengan Batan saat itu tak hanya pada PLTN. Tapi juga potensi pengelolaan bahan baku energi nuklir. Seperti uranium dan torium. Termasuk pengenalan teknologi fusi dingin sebagai sumber energi alternatif.
Sayangnya, meski telah melalui tahap studi awal, rencana tersebut batal dilanjutkan karena penolakan dari masyarakat pesisir.

“Sekitar tahun 2016, sempat ada pembahasan tentang pemanfaatan uranium dan fusi dingin torium sebagai sumber energi listrik. Tapi, masyarakat di wilayah pesisir menolak karena khawatir terhadap risiko radiasi dan dampak lingkungan,” terangnya.
Achmad menjelaskan, almarhum Awang Faroek Ishak kala itu serius menyiapkan langkah awal pembangunan PLTN. Pemerintah Provinsi Kaltim bahkan telah menganggarkan dana di APBD tahun 2016 untuk studi kelayakan proyek tersebut. Harapannya, langkah ini bisa menarik anggaran dari APBN untuk ikut terlibat.

Terkait penelitian, Achmad menjelaskan bahwa kewenangan riset energi nuklir berada di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Tapi, 2021, terjadi gempa tektonik di sekitar wilayah Berau dengan magnitudo 4,1. Ini menjadi gempa pertama di wilayah Kalimantan. Fenomena ini semakin menguatkan. Bahwa PLTN di wilayah utara Kaltim seperti Talisayan, tidak 100 persen aman.

Meski begitu, hingga kini belum ada tanda-tanda kebangkitan kembali wacana PLTN di Kaltim. ESDM Kaltim saat ini lebih fokus pada hilirisasi dan pengembangan energi terbarukan. Salah satunya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

“Untuk sekarang, fokus kami adalah mendorong hilirisasi dan energi terbarukan. Salah satu prioritasnya adalah pengembangan PLTS, baik di kawasan perdesaan maupun industri kecil,” paparnya.
Memang, saat ini batu bara masih menyumbang sekitar dua pertiga dari total pembangkit listrik di Indonesia. Pemerintah sendiri menargetkan emisi nol bersih pada 2050 mendatang.

Pemerintah menargetkan 40 hingga 54 gigawatt dari 400 gigawatt kapasitas listrik nasional pada tahun 2060 berasal dari energi nuklir.
Rencana awalnya adalah membangun sebuah reaktor modular kecil di Kalimantan pada “tahun 2030 atau 2032.
Satu dekade telah berlalu. Tak ada angin, tak ada hujan, Oktober 2025 lalu, di salah satu kafe di Balikpapan, sejumlah akademisi Kaltim mengadakan diskusi. Mereka menyerukkan kembali cita-cita yang sempat terpendam. Memanfaatkan nuklir sebagai sumber energi terbarukan.

Peneliti Sekolah Tinggi Teknologi Migas (STT Migas) Balikpapan, Andi Jumardi menyebut, energi nuklir berpotensi menjadi solusi jangka panjang terhadap meningkatnya kebutuhan listrik nasional, di tengah keterbatasan energi fosil.

“Selain murah dan efisien, nuklir juga dinilai mampu memperkuat ketahanan energi di tengah meningkatnya kebutuhan listrik dan keterbatasan sumber daya fosil,” ujar Andi dalam diskusi publik tersebut.

Ia menjelaskan, potensi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sangat relevan dengan kondisi energi nasional, yang kini masih bergantung pada batu bara dan gas.
Kalimantan sendiri memiliki posisi strategis mendukung riset dan pengembangan reaktor modular kecil. Atau small modular reactor (SMR), sebagai sumber listrik bersih di masa depan. Meski demikian, Andi menegaskan bahwa pembangunan energi nuklir tidak bisa dilakukan secara tergesa. Karena membangun PLTN butuh kepercayaan publik. Khususnya terkait aspek keamanan.

Sebelum bicara PLTN, ada baiknya kita ketahui dulu berapa sebenarnya kebutuhan daya listrik di Kaltim. Ditambah lagi, Kaltim berdempetan dengan kawasan Ibu Kota Negara (IKN). Untuk pasokan listrik di Kaltim, PLN Unit Induk Distribusi (UID) Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (Kaltimra) mencatat cadangan daya yang ada mencapai 239,8 megawatt (MW). Atau sekitar 30 persen dari total kapasitas sistem Mahakam.
Kondisi tersebut diklaim cukup untuk menopang lonjakan kebutuhan energi industri dan pembangunan kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN). Setidaknya hingga 2026.
Data PLN UID Kaltimra menunjukkan daya mampu pasok sistem Mahakam mencapai 1.050 MW, dengan beban puncak sekitar 790 MW pada Oktober 2025. Dengan cadangan daya 239,8 MW, sistem kelistrikan Kaltim memiliki reserve margin sebesar 30,37 persen. Angka itu berada di atas ambang aman nasional.

General Manager PLN UID Kaltimra, Muchamad Chaliq Fadli, mengatakan kondisi ini menjadi dasar bagi perluasan kebutuhan energi di sektor industri dan pemerintahan.
Naiknya permintaan di kawasan industri maupun kawasan pemerintahan baru IKN masih dapat dilayani tanpa risiko defisit. Setidaknya untuk waktu dekat.

“Dengan kondisi sekarang, cadangan kami masih cukup untuk melayani pertumbuhan kebutuhan listrik hingga tahun 2026,” ucap Chaliq, sapaan akrabnya.
Untuk kawasan IKN, PLN juga memperkuat infrastruktur melalui dua sumber. Pembangunan Gas Insulated Switchgear (GIS) 4 IKN dan PLTS berkapasitas 50 MW.
Kedua fasilitas tersebut terhubung langsung dengan Sistem Mahakam, sebagai bagian dari penguatan sistem kelistrikan di kawasan pemerintahan baru.
Selain kesiapan teknis, PLN juga mencatat tren konsumsi listrik yang terus meningkat di Kaltim dan Kaltara. Hingga September 2025, total konsumsi listrik tercatat 4.786 gigawatt hour (GWH).

Sektor rumah tangga masih mendominasi dengan 2.309 GWH, disusul sektor bisnis 1.027 GWH, dan industri 975 GWH. Meski rumah tangga masih menjadi pengguna terbesar, PLN mencatat pertumbuhan permintaan cukup tajam di wilayah-wilayah dengan geliat ekonomi baru.
Khusus di IKN, pertumbuhan konsumsi listrik mencapai 76 persen, dari 42,3 juta kilowatt hour (kWh) pada 2024 menjadi 74,6 juta kWh pada 2025. Sedangkan di Kota Bontang, peningkatan konsumsi tercatat 18 persen, dari 618 juta kWh menjadi 734 juta kWh pada periode yang sama.

Baca Juga:  Kecewa sama KONI

Selain konsumsi, jumlah pelanggan PLN UID Kaltimra juga meningkat signifikan. Dalam dua tahun terakhir, total pelanggan naik 9,8 persen, dari 1.490.569 pelanggan pada 2023 menjadi 1.653.860 pelanggan pada 2025.
Dari jumlah tersebut, 89 persen merupakan pelanggan rumah tangga, 7 persen pelanggan bisnis (sekitar 116 ribu pelanggan), dan 990 pelanggan dari sektor industri. Wilayah IKN tercatat menjadi lokasi dengan pertumbuhan pelanggan tertinggi, yakni naik 29 persen, dari 9.928 pelanggan pada 2023 menjadi 14.151 pelanggan pada 2025.
PLN menilai, cadangan daya dan pertumbuhan pelanggan yang stabil menjadi indikator kesiapan sistem kelistrikan Mahakam dalam menghadapi ekspansi kebutuhan listrik di Kalimantan Timur. Terutama untuk industri, kawasan bisnis, dan fasilitas pemerintahan baru.

Wilayah Kaltim Masih Potensial

Dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Andhika Yudha Prawira masih yakin, Kaltim masih cocok dibangun PLTN.
Menurutnya, Kaltim merupakan salah satu lokasi tapak potensial untuk pembangunan PLTN di Indonesia. Provinsi ini memiliki beberapa keunggulan strategis. Salah satu keunggulan utama Kaltim adalah potensi gempa yang rendah, dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Faktor geologis ini menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan lokasi PLTN. Karena berkaitan langsung dengan aspek keselamatan fasilitas nuklir.

“Kawasan pesisir Kaltim juga memiliki sumber daya air yang cukup untuk mengoperasikan reaktor nuklir,” ungkap Andhika.
Selain faktor geologis dan ketersediaan sumber daya air, infrastruktur industri di Kaltim yang terus berkembang menjadi nilai tambah.
Pengembangan IKN turut mendorong meningkatnya kebutuhan listrik masyarakat. Sehingga menjadikan pembangunan PLTN sebagai isu strategis mengatasi masalah kelistrikan di masa depan.
Namun dosen muda ini menekankan bahwa perlu dilakukan kajian lingkungan lebih mendalam sebelum memutuskan lokasi tapak definitif.
Kajian tersebut terkait kondisi bentang alam, struktur batuan, dan daya dukung lingkungan untuk pembangunan PLTN.
Dampak sosial juga menjadi aspek yang tidak bisa diabaikan. Ketenagakerjaan, pengembangan infrastruktur lokal, dan edukasi terkait penerimaan masyarakat terhadap teknologi PLTN perlu dikaji dan ditingkatkan.

“Apabila pembangunan PLTN dilaksanakan di Kaltim, diperlukan kajian lingkungan hidup yang transparan, pelibatan masyarakat yang lebih intensif, dan langkah-langkah strategis lain untuk memastikan pembangunan berjalan lancar dan sesuai rencana,” jelas Andhika.
Pembangunan PLTN di Indonesia memang menghadapi berbagai tantangan. Andhika mengidentifikasi beberapa tantangan.
Seperti kebutuhan teknologi tinggi, regulasi yang komprehensif untuk menjamin keselamatan masyarakat, manajemen proyek dan persiapan sumber daya manusia, serta penerimaan masyarakat dan kestabilan politik.

“Kelima aspek tersebut sangat penting untuk memastikan PLTN dapat dibangun tepat waktu dan sesuai jadwal pemerintah,” tegas Andhika.
Pendapat serupa juga diutarakan ahli rekayasa nuklir Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Haryono Budi Santosa. Kaltim cocok dibangun PLTN.
Pertimbangannya Bumi Etam membutuhkan listrik bersih. Artinya, pembangkit listriknya tidak mengemisikan CO2 atau gas rumah kaca. Karena, hal itu merupakan komitmen untuk zero emisi 2060.
Lalu Kaltim memiliki tanah yang stabil, minim gempa bumi Karena, tidak memiliki gunung berapi seperti di Jawa dan pulau lainnya di Indonesia. Lalu kebutuhan listrik nantinya akan tinggi.
Karena, pertumbuhan industri yang cukup pesat di daerah itu. Pertimbangan terakhir, salah satu program pemerintah, PLTN itu digunakan untuk memproduksi hidrogen hijau.

“Dari empat pertimbangan itu, maka PLTN cocok untuk Kalimantan Timur. Bahkan perlu dipercepat untuk mensubstitusi pembangkit listrik yang kotor. Jadi bahan bakar fosil yang digunakan, bisa dikonversi menjadi material industri. Bukan material energi,” ucapnya.
Ia menjelaskan, memang ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam membangun PLTN. Mulai dari mempersiapkan lingkungan khusus. Yakni daerah yang potensi terjadinya kecelakaan sangat kecil.
Salah satu yang bisa memicu kecelakaan ini adalah bencana alam seperti gempa bumi. Walau, selama 70 tahun terakhir beroperasinya PLTN di beberapa negara di dunia, gempa bumi bukan penyebab langsung kecelakaan PLTN.

“Banyak PLTN yang dibangun di daerah gempa. Misalnya saja di Jepang. Di sana, frekuensi gempanya lebih tinggi dari frekuensi gempa di Indonesia. Tanah di sana selalu bergerak. Tapi di sana masih aman sampai sekarang,” terangnya.
Menurutnya, hal itu karena teknologi PLTN yang terus berkembang. Teknologi yang ada itu, membuat PLTN sensitif terhadap gerakan. Sehingga, ketika ada gerakan, pembangkit listrik itu akan secara otomatis berhenti beroperasi.

“Bahkan, saat ini sudah ada pengembangan teknologi baru. Ketika ada gerakan, PLTN itu tetap beroperasi. Tetap memproduksi listrik. Teknologi itu sudah digunakan di beberapa PLTN di Jepang,” ungkapnya.
Hanya saja, hal itu hanya bisa digunakan pada gempa dengan frekuensi tertentu. Jika gempa itu terjadi lebih besar, maka, PLTN itu otomatis padam. Maka, secara otomatis, PLTN sebenarnya bisa mengamankan dirinya sendiri.
Sehingga, isu tentang gempa bumi kini bukan lagi hamabtan membangun PLTN. Asalkan lahan yang dipilih benar-benar tepat.

Untuk PLTN dengan kapasitas besar, memerlukan luas lahan yang besar juga. PLTN yang masuk dalam kategori besar, memiliki kapasitas produksi di atas 700 megawatt. Dibutuhkan radius minimal 5 kilometer hingga ke lokasi PLTN.
Karena dalam pengoperasiannya dibagi menjadi dua. Yakni operasi normal dan operasi kecelakaan. Operasi normal itu risiko yang diterima publik maupun lingkungan sangat kecil. Artinya tidak ada hal yang membahayakan.

“Karena bahaya utama PLTN yang dikhawatirkan adalah radiasi. Operasi normal radiasi ini sudah sangat terkendali. Bahkan selalu diawasi. Sehingga pada operasi normal, tidak ada radiasi yang membahayakan publik maupun lingkungan,” terangnya.
Sementara, operasi kecelakaan melepaskan radioaktif. Kondisi in memancarkan radiasi pengion. Radiasi ini merupakan bentuk energi tinggi yang memiliki kemampuan untuk melepaskan elektron dari atom dan molekul, proses yang disebut ionisasi.

Baca Juga:  Cuma Aman Hingga 2026

“Radiasi pengion inilah yang bisa membahayakan sel-sel biologis. Dengan kata lain, bisa membahayakan lingkungan dan membahayakan manusia.”

“Tetapi, berdasarkan pengalaman negara yang sudah memiliki PLTN, potensi terjadinya kecelakaan ini sangat rendah. Selama ini, kecelakaan ini baru terjadi dua kali selama kurang lebih 70 tahun,” ungkapnya.
Minimnya kecelakaan itu ditentukan oleh teknologi yang digunakan oleh PLTN itu. Bukan manusia. Sehingga, ia menilai sumber daya manusia (SDM) di Indonesia khususnya Kaltim, dinilai bisa untuk mengoperasikan PLTN ini.
Dalam pembangunan infrastruktur PLTN juga, hal yang harus memperhatikan pengolahan limbah radioaktifnya. Apakah limbahnya mau dikelola sendiri atau mau dilakukan repatriasi ke negara penjual. Kalau repatriasi, artinya kita tidak perlu mengelola limbahnya,” jelasnya.
PLTN itu memiliki dua macam reaktor. Reaktor besar dan kecil. Tentunya berpengaruh terhadap kapasitas PLTN itu sendiri. Reaktor kecil itu disebut dengan small modular reactor (SMR). Keunggulannya bisa diletakkan di atas atau di dalam permukaan tanah.

“Kalau di dalam permukaan tanah, kedalamannya bisa 50 meter. Tetapi, semakin dalam semakin bagus. Karena, tanah ini memiliki penahan radioaktif yang sangat bagus. Jadi, ketika terjadi kecelakaan, tidak langsung ke manusia,” ucapnya.
Selain itu, reaktornya juga bisa diletakkan di dalam air laut. Bisa mengapung –di dalam air tapi tidak sampai di dasar laut atau diletakkan di dasar laut. Konsep ini disebut dengan marine base. “Dalam tanah maupun dalam air, hambatannya sama,” katanya lagi.
Sayangnya, di Indonesia tidak ada regulasi yang pasti tentang PLTN. Di sisi lain, hingga saat ini tidak ada investor atau pengusaha yang mengajukan untuk membangun PLTN. “Jadi ini bisa menjadi penghambat. Bisa juga jadi pemercepat. Kalau ada yang mengusulkan, bisa jadi mempercepat pembangunan PLTN ini,” terangnya.

Di Indonesia juga sudah ada organisasi yang bernama: Nuclear Energy Program Implementation Organization (Nepio). Ini adalah organisasi pelaksana program energi nuklir di Indonesia untuk mempercepat persiapan dan pembangunan PLTN.
Di mana lokasi yang sesuai?
2024 lalu, Batan bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan survei. Setidaknya ada tiga lokasi potensial di Kaltim yang dapat dijadikan lokasi pembangunan PLTN. Lokasi-lokasi tersebut terletak di Kutai Timur (Kutim), Penajam Paser Utara (PPU), dan Kutai Kartanegara (Kukar).

Informasi ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa (18/02/2025) lalu, dikutip Antara.
Menurut Eniya, BATAN sebelumnya telah mengidentifikasi sebanyak 28 lokasi yang berpotensi untuk pembangunan PLTN di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data dari BATAN yang kini berada di BRIN, terdapat 28 lokasi yang telah diidentifikasi sebagai lokasi potensial pembangunan PLTN di Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sekitar 42,9 persen lokasi telah melalui proses skrining faktor penolakan, sementara 42,9 persen lainnya masih dalam tahap pra-survei. Sebagian kecil, yakni 3,6 persen, sedang dalam tahap penapisan, dan 10,7 persen sudah melalui tahap survei.

Di wilayah Kaltim, terdapat tiga lokasi yang telah melewati tahapan pra-survei oleh BATAN. Ketiga lokasi tersebut adalah Sangatta di Kutim, Kecamatan Babulu di PPU, dan Kecamatan Samboja di Kukar. Ketiganya diperkirakan memiliki potensi untuk menghasilkan kapasitas listrik sebesar 1 gigawatt (GW). Setara dengan sistem mahakam yang bisa menampung 1.050 MW.

Camat Samboja, Damsik justru baru tahu kabar tersebut. Hingga kini belum ada informasi resmi yang ia terima, berkaitan rencana pembangunan PLTN.
Meski begitu, Damsik menyampaikan catatan penting apabila nantinya pembangunan PLTN benar-benar direalisasikan di Samboja. Ia menilai, setiap rencana besar seperti ini harus mempertimbangkan keselamatan masyarakat dan kelestarian lingkungan di sekitar area pembangunan.

“Kalau memang pembangkit listrik tenaga nuklir jadi dibangun di Samboja, tentu harus memperhatikan lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitar pembangunan tersebut,” harap Damsik.
Damsik juga meminta agar pemerintah pusat maupun BRIN dapat melakukan sosialisasi terlebih dahulu. Agar masyarakat memahami tujuan dan dampak dari pembangunan PLTN.
Walhi: Berisiko, Sudahi Saja
Aktivis lingkungan menolak pembangunan PLTN. Direktur Eksekutif WALHI Kaltim, Fathur Roziqin Fen, mengatakan Kaltim merupakan kawasan yang masih rentan secara ekologis.
Mulai dari degradasi hutan, krisis air, hingga ancaman terhadap wilayah adat dan pesisir. Karena itu, kehadiran proyek berisiko tinggi seperti PLTN, justru berpotensi menambah beban kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial.
Ia menilai wacana PLTN di Kalimantan, termasuk di Kalimantan Timur, belum memiliki dasar yang kuat. Baik secara ilmiah maupun kebijakan energi nasional.
Menurutnya, tidak ada studi maupun rekomendasi resmi yang menyarankan pembangunan PLTN di Indonesia, khususnya di Kalimantan.

“Dalam berbagai studi energi nasional, tidak ada yang merekomendasikan PLTN sebagai solusi kebutuhan energi. Justru potensi energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan mikrohidro jauh lebih aman, murah, dan berkelanjutan,” tegasnya.
Ikin, sapaannya, juga mengingatkan bahwa transisi energi yang sedang digencarkan pemerintah seharusnya diarahkan pada energi bersih yang adil dan partisipatif.
Ia menyebut wacana PLTN ini sempat muncul dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) lama. Namun kemudian dihapus dalam revisi terbaru. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa proyek tersebut tidak relevan dengan kebutuhan aktual Kalimantan Timur.

“Kalau memang masih sekadar wacana, sebaiknya dihentikan saja. Kita masih punya banyak potensi energi bersih yang bisa dikembangkan tanpa menambah risiko baru,” tegas Ikin.
Perdebatan nuklir sebagai sumber energi memang tidak pernah usai. Pro dan kontra akan terus membayang-bayangi. Kuncinya sekarang ada pada keseriusan pemerintah. Mau bangun atau tidak? Atau, sudah punya penggantinya yang sepadan? (Chandra/Salsabila/Mayang/Michael/ Ari Rachiem/Rahmat/Awal/Sakiya yusri/arie)

Leave Comment

Related Posts