Oleh: Devi Alamsyah*
Selain persiapan menjelang Natal dan Tahun Baru di akhir Desember ini, ada satu lagi yang perlu disiapkan dan diwaspadai; bencana banjir.
BEBERAPA daerah dan kota di Kaltim akhir Desember atau awal Januari, ketika puncaknya musim penghujan, biasanya diiringi dengan genangan lama. Seperti di Samarinda. Kendati beberapa tahun ini intensitas dan durasinya berkurang, tapi tetap saja sebagian warga tetap khawatir. Apalagi dengan adanya perubahan cuaca serta peristiwa banjir dan longsor di Aceh dan Sumatera.
Ari Pangalis salah seorang yang khawatir itu. Ia tinggal di Perumahan Bumi Sempaja, Samarinda. Sudah 6 tahun ini, Ari gabung di Harian Disway Kaltim Grup sebagai videografer. Orangnya tak banyak bicara. Ia lebih suka mengerjakan hal teknis ketimbang banyak bersuara.
Tapi, tempo hari, sekira 2 bulan lalu ketika terjadi banjir dan genangan cukup lama di kawasan perempatan sempaja, yang menghubungkan Jl AW Syahranie dan Jl PM Noor ia mulai bergeming. Memita saya untuk menuliskan sesuatu tentang banjir ini. Jadi, ini memang tulisan buat Ari Pangalis.
Saya bercerita, ketika menghindari banjir di Jl AW Syahranie itu, mencoba mengambil jalur atas. Orang banyak menyebutnya perumuhan dosen. Yang menghubungkan jalan tersebut dengan Jalan M Yamin.
Ternyata banyak yang sepemikiran. Jalan perumahan yang berukuran selebar 2 mobil itu, macet. Berhenti total. Sekira 1 jam baru bisa keluar. Padahal biasanya cukup 5-10 menit saja melintasi jalan itu.
Ternyata terjebak lagi. Jalan M Yamin juga macet. Kemudian GOR Sempaja yang sekarang bernama Kadrie Oening, jalur alternatif jika Perempatan Sempaja banjir, juga tergenang. Cukup dalam. Berisiko bagi pengendara mobil city car.
Saya berbalik arah, kembali ke Jl M Yamin menuju arah Mal Lembuswana. Biasanya daerah ini juga tergenang. Tapi saat itu, sama sekali tidak ada genangan air. Kemudian saya memutar melintasi Depan Rujab Jabatan Wali Kota, perempatan Alaya hingga jalan menuju arah Bontang. Aman sulaiman.
Jadi banjir dan genangan malas surut ini hanya terjadi di Perempatan Sempaja antara Jl PM Noor dan AW Syharanie serta kawasan GOR Kadrie Oening. Padahal intensitas curah hujannya dari pagi cukup besar. Rasanya kok Aneh. Itu yang saya ceritakan ke Ari Pangalis, saat itu.
“Pak, tolong tuliskan pak,” kata Ari, meminta dengan sangat.
Selain cerita itu, kita memang membahas bagaimana mengurai persoalan banjir ini, khususnya di Samarinda. Rasa-rasanya bagi Ari itu menjadi problem menahun.
Tidak hanya Ari, teman ngopi saya, Rangga, bahkan sudah menyiapkan atap rumahnya sebagai tempat barbeque dan beraktivitas ketika banjir datang. Rumahnya hanya selemparan batu Ade Rai dari Ari Pangalis. Beda blok saja. Kawasan parkir air, ya di rumahnya Rangga itu.
Saya katakan sama Ari saat itu, pendapat saya soal penyelesaian banjir di hilir. Kenapa? karena setiap banjir dan air lama surut, salah satu penyebab yang kerap disebutkan banyak orang yakni Sungai Mahakam pasang, aliran sungai kecil tertahan.
Jadi, kata saya, harusnya dipikirkan bangaimana air Sungai Karang Mumus bisa mengalir ke Mahakam, tapi Sungai Mahakan tidak bisa masuk Karang Mumus.
Bagaimana caranya? Mungkin dengan membuat bendungan. Saya kira banyak insinyur dan teknisi bangunan yang lebih paham caranya. Pasti bisa.
“Iya Pak, seperti Belanda. Bisa,” kata Ari menimpali.
Sinkron sebetulnya dengan wacana pengerukan Sungai Mahakam yang disampaikan Walikota Samarinda Andi Harun. Pun juga Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud. Artinya penyelesaian banjir mesti komprehensif. Tidak bisa jika hanya perbaikan dan memperbesar parit. Ya, itu membantu supaya aliran lancar, tapi kalau hilirnya tertutup. Tetap saja meluap.
Pengerukan dan memperluas kapasitas daya tampung Sungai Mahakam, menurut saya perlu dilakukan. Karena ketika pasang, air laut pun masuk Mahakam. Tapi untungnya, Mahakam sungai besar, sehingga jika dirawat, termasuk pengerukan sedimentasi rutin, saya kira mampu menampung lebih banyak debit air.
Apalagi jika dikombain dengan pembangunan bendungan hilir tadi. Saya meyakini akan lebih mengurangi intensitas dan ketinggian banjir di Samarinda.
Bendungan bisa dibuat cantik. Apalagi dihubungkan dengan Teras Mahakam. Wisata tepian sungai. Jadi, konsepnya bendungan itu menjadi ruang publik, pedistrian, jogging track…dll. Fungsinya nyata, publik pun suka.
Selain di hilir, tentu penanganan banjir ini juga harus dilakukan dari hulu. Itu program jangka panjang. Revitalisasi hutan dan lingkungan, reklamasi eks tambang dan pengendalian air di hulu seperti revitalisasi hutan serapan dan bendungan Benanga.
Kita beruntung, Gubernur Rudy dan Walikota Andi Harun sependapat soal penanganan banjir dari hilir ini. Lalu, apalagi masalahnya?! Bukan pasti bisa lagi, tapi pasti bissaaaaaa (dengan A banyak)– sebanyak harapan Ari Pangalis dan Rangga. (*/Direktur Harian Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.disway.id)









