Featured

Headlines

Sudah Dipetakan, BPBD Kendala Alat

Antisipasi terhadap bencana di Kalimantan Timur (Kaltim), sudah dipertakan. Ketika terjadi bencana, tentunya seluruh elemen harus bersiap. Sayangnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kaltim, saat ini keterbatasan alat.

Analis Kebijakan Ahli Muda BPBD Kaltim, Sugeng Priyanto menegaskan, bahwa seluruh penanganan bencana di daerah mengacu pada Kajian Risiko Bencana (KRB) 2022-2026. Dokumen tersebut berisi peta bahaya, peta kapasitas, peta kerentanan, hingga peta risiko berbagai jenis bencana di setiap kabupaten/kota.

“Pertama, kami sudah punya yang namanya kajian risiko bencana. Sudah dipetakan dan dibuat untuk periode 2022 sampai 2026. Itu jadi acuan kami mengambil langkah,” ujar Sugeng baru-baru ini.

KRB kemudian menjadi dasar penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) 2023-2027, serta diturunkan ke dalam Rencana Kontingensi (Renkon) untuk bencana spesifik seperti banjir, longsor, dan karhutla. Renkon ini memuat pembagian tugas antarinstansi dan diuji melalui gladi serta simulasi.

“Di situ tergambar siapa berbuat apa. Mulai Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, TNI/Polri, OPD teknis, perusahaan, relawan, hingga akademisi,” kata Sugeng.

Pada fase pra bencana, BPBD melakukan pemutakhiran data rawan bencana, memastikan kesiapan alat dan logistik, serta edukasi dan sosialisasi ke masyarakat. Semua aktivitas hidrometeorologi dikoordinasikan dengan BMKG, termasuk aktivasi pos pantau cuaca dan koordinasi lintas provinsi serta kabupaten/kota.

“Kalau pra bencana itu termasuk persiapan logistik, pengecekan peralatan, edukasi masyarakat, dan memastikan daerah rawan. Jadi pemerintah setempat sudah tahu langkah yang harus dilakukan,” ujarnya.

BPBD juga melakukan penyuluhan kebencanaan, menyusun regulasi teknis, dan memetakan jalur evakuasi. Dalam konteks pengurangan risiko, intervensi dilakukan melalui dua pendekatan: struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural meliputi penanaman pohon, penguatan tebing, hingga pemasangan batu penahan erosi.

“Kita ini kadang lupa, bencana bukan hanya faktor alam. Banyak yang terjadi karena ulah manusia alih fungsi lahan, penebangan hutan, atau pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi topografi,” ucapnya.

Ia mencontohkan, situasi perkotaan yang kehilangan rumah panggung dan ruang resapan, serta risiko non-alam di Kota Bontang yang tinggi akibat industri besar.”Meledaknya pabrik, jembatan ambruk, kebakaran industri, itu semua masuk kategori bencana. Teknologi secanggih apa pun tetap punya risiko,” jelasnya.

Selain faktor teknis, perilaku manusia juga menjadi pemicu bencana. Ia menyinggung kasus di Hong Kong ketika puntung rokok dan konstruksi bambu memicu kebakaran besar. “Sederhana, tapi bisa jadi risiko besar. Intinya, pengurangan risiko itu harus dimulai dari perilaku,” ujarnya.

Kearifan lokal seperti rumah panggung juga menjadi pembelajaran penting, kata Sugeng, namun kini semakin jarang diterapkan. “Topografi kita sudah dipetakan. Dulu masyarakat membangun berdasarkan kondisi lingkungan. Sekarang semuanya berubah dan dampaknya kita rasakan sendiri,” katanya.

Baca Juga:  Malu Dengan Daerah Lain

Saat bencana berlangsung, seluruh informasi masuk melalui Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) yang beroperasi 24 jam. Informasi BMKG dan laporan dari 10 kabupaten/kota menjadi dasar BPBD mengerahkan Tim Reaksi Cepat (TRC) untuk melakukan kaji cepat.

“Pada prinsipnya, Informasi awal dikumpulkan dengan metode 4W+1H: Di mana, kapan, siapa, dan bagaimana. Semua kami tuangkan dalam form TRC,” jelas Sugeng.

Hasil kaji cepat disampaikan ke pimpinan daerah sebagai dasar penentuan apakah penanganan dilakukan secara normal atau dinaikkan menjadi status darurat. “Jika status darurat ditetapkan, maka kemudahan akses, percepatan logistik, hingga penggunaan anggaran bisa dilakukan. Tapi harus diikuti aktivasi Posko,” kata Sugeng.

Dalam fase tanggap darurat, posko menjadi pusat kendali dengan klaster kesehatan, logistik, dapur umum, humas, hingga sarana-prasarana. Semua bantuan disalurkan satu pintu melalui Posko.

“Prioritas utama adalah kelompok rentan seperti lansia, balita, ibu hamil, dan penyandang disabilitas,” paparnya.

Dia mencontohkan, BPBD Kaltim menghadapi dinamika di lapangan seperti banjir Mahakam Ulu yang terkendala distribusi karena sungai surut dan akses jalan terputus.”Penanganan di Mahulu waktu itu sulit akses jalannya, akibatnya terhambat pengiriman bantuan. Ini yang jadi perhatian kami agar Pemprov bisa segera memperbaiki akses,” imbuhnya.

Dalam konteks pengurangan risiko, Sugeng menjelaskan bahwa intervensi dilakukan melalui dua pendekatan: struktural dan non-struktural. Aspek struktural mencakup penyusunan regulasi, pembentukan kelembagaan, hingga pembangunan fisik seperti penanaman pohon, penguatan tebing, atau pemasangan batu penahan erosi. Langkah-langkah tersebut krusial karena kerusakan lingkungan umumnya dipicu aktivitas manusia.

Sugeng menyinggung pengalaman bencana besar seperti gempa dan tsunami Palu 2018. Balikpapan menjadi salah satu posko darurat bagi pengungsi. Hampir seluruh infrastruktur rusak sehingga koordinasi terhambat.

“Waktu di Palu, listrik padam total, komunikasi lumpuh, dan akses ke lokasi-lokasi terdampak terputus. Informasi datang terlambat dan situasi berubah terus,” ungkapnya.

Dalam kondisi itu, tim tidak bisa menunggu instruksi. Respons cepat dan improvisasi mutlak diperlukan. “Pelajaran dari Palu itu penting. Kita tidak boleh hanya mengandalkan komando dari pusat atau provinsi. Keputusan harus cepat dan tim di lapangan harus bisa bergerak dengan kewenangan tertentu,” terangnya.

Setelah tanggap darurat selesai, BPBD memasuki masa pemulihan: pembersihan lingkungan, perbaikan akses, pendataan kerusakan oleh Tim jitu pasca bencana, hingga trauma healing.

Baca Juga:  Masih Rp 20 M Belum Tersalurkan

“Setelah tanggap darurat, tahap pemulihan itu penting. Mulai dari memulihkan akses, mendata kerusakan, sampai mendukung warga agar aktivitas mereka bisa normal kembali,” tuturnya.

Jika melihat daerah, Sugeng menyebut contoh lokasi rawan di Samarinda antara lain Sempaja , Jalan Panjaitan, Mugirejo, Lempake, Pemuda, hingga Griya Mukti. Posko utama banjir berada di Jalan Panjaitan dekat Kantor Dinas Perdagangan.

“Semua jalur evakuasi, titik kumpul, pos lapangan, hingga lokasi dapur umum sudah dipetakan,” katanya.

Lanjutnya, bahwa penanggulangan bencana tidak efektif bila hanya ditopang satu pihak. Lima unsur harus bergerak bersama: pemerintah, perusahaan, relawan, media, dan akademisi.

“Pemerintah itu satu unsur, baik pusat, provinsi, sampai kabupaten/kota. Lalu perusahaan juga punya peran besar. Relawan itu membersamai langsung masyarakat, media sebagai pendistribusi informasi, dan akademisi yang terbiasa menyusun kajian. Kalau semua elemen itu bergerak bersama, mitigasi kita jauh lebih siap,” katanya.

Namun BPBD Kaltim masih menghadapi keterbatasan alat. Beberapa bantuan dari BNPB sudah tua, anggaran hanya sekitar Rp 17 miliar, dan bergerak tanpa status darurat membuat logistik terbatas. Kendati demikian, BPBD tetap memperkuat kabupaten/kota dengan tenda, lampu, perahu, genset, dan pompa air. Logistik disebar secara desentralisasi agar respons lebih cepat.

“Kalau ada status darurat, belanja tidak terduga bisa digunakan. Itu membantu percepatan penanganan,” bebernya.

Sugeng menekankan, bahwa mitigasi di Kaltim harus melihat karakter geografis: Samarinda dan Kukar rawan banjir, Berau dan Kutim rawan karhutla terutama di kawasan gambut dan bekas tambang. Namun mitigasi tidak boleh berhenti pada peta ancaman. Kondisi lapangan bisa berubah cepat.

“Bencana itu tidak berjalan sesuai teks. Kita harus siap dengan berbagai kemungkinan,” ucapnya.

Perubahan iklim dan pembangunan IKN akan membuat risiko semakin tinggi sehingga kolaborasi lintas sektor menjadi keharusan. “Peta risikonya sudah ada. Rekomendasi teknisnya juga sudah jelas. Sekarang tinggal komitmen bersama, bagaimana semua pihak menjalankan mitigasi ini secara konsisten,” pungkasnya.

BPBD menekankan bahwa seluruh alur penanganan mengacu pada UU 24/2007, PP 21/2008, dan Peraturan Kepala BNPB yang mengatur sistem komando insiden, mekanisme distribusi logistik, hingga koordinasi berlapis mulai tingkat desa hingga provinsi.

BPBD Kaltim berharap seluruh masyarakat tetap waspada menghadapi puncak musim hujan, mengingat sebagian wilayah Kaltim memiliki kerentanan banjir yang berulang setiap tahun.

“Pemerintah menegaskan kesiapsiagaan hanya akan efektif jika partisipasi warga berjalan seiring upaya mitigasi yang dilakukan daerah,” tutupnya. (MAYANG/ARIE)

Leave Comment

Related Posts