Featured

Headlines

Bom Waktu untuk Kaltim

Laju pembukaan hutan dan perluasan konsesi industri ekstraktif di Kalimantan Timur semakin memicu kekhawatiran publik. Provinsi ini tercatat mengalami deforestasi tertinggi di Indonesia pada 2024, dan berbagai indikator menunjukkan bahwa ancaman bencana ekologis berskala besar kian nyata. Situasi tersebut dinilai memiliki pola yang mirip dengan rangkaian banjir besar yang melanda Sumatera.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur menyebut, keterkaitan antara maraknya aktivitas pertambangan dan kehilangan tutupan hutan dengan meningkatnya risiko bencana ekologis sebagai relasi yang sangat jelas. Salah satu indikatornya yakni tumpang tindih izin pertambangan, perkebunan, dan kehutanan yang dinilai melampaui kapasitas ekologis wilayah.

Secara administratif, luas daratan Kalimantan Timur hanya 12,7 juta hektare. Namun total luasan konsesi berizin mencapai 13,8 juta hektare, melebihi luas wilayahnya sendiri. Kondisi ini menggambarkan tekanan ruang yang ekstrem dan menghilangkan fungsi hidrologis kawasan secara signifikan.

Untuk melihat sejauh mana skala kehilangan hutan berlangsung, sejumlah lembaga pemantau lingkungan mencatat lonjakan tajam deforestasi sepanjang 2024.

Data Yayasan Auriga Nusantara merilis, kehilangan tutupan hutan mencapai 44.483 hektare, hampir dua kali lipat dibandingkan 2023 yang sebesar 28.633 hektare. Sementara versi KLHK melalui BRIN-Landsat mengungkap angka sekitar 30.000 hektare berdasarkan pemodelan citra satelit.

Pada tingkat nasional, data Simontini mencatat total deforestasi Indonesia pada 2024 mencapai 261.575 hektare, dengan 97 persen di antaranya terjadi di area berizin dan 38.615 hektare di kawasan tambang.

Kalimantan Timur berada di peringkat pertama dari 10 provinsi penyumbang deforestasi terbesar 2024. (lihat grafis)

JATAM mencatat bahwa pola bencana banjir besar di Sumatera, yang dipicu hilangnya tutupan hutan dalam skala luas, kini mulai terlihat di Kalimantan Timur. Selama periode 2018-2024, provinsi ini mengalami 980 peristiwa banjir, berdasarkan data BPBD Kaltim.

Baca Juga:  Perda BUMD Masih 'JADUL'

“Ini bukan sekadar bencana rutin, tetapi berkaitan langsung dengan obral izin, pembukaan lahan masif untuk pertambangan, kerusakan lingkungan, dan aktivitas tambang ilegal,” terang Windy Pranata, Kepala Divisi Advokasi dan Database JATAM Kaltim.

Tren tersebut diperkirakan akan memburuk seiring rencana pembukaan tambang skala besar di Hulu Mahakam oleh Pari Coal, serta meningkatnya tekanan ekonomi dan pembangunan kawasan strategis termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN).

Menurut hasil pemantauan JATAM, hampir seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Timur berada dalam kategori rawan banjir dan longsor akibat kombinasi deforestasi dan aktivitas pertambangan.

Windy mengungkapkan, bahwa area kritis yang membutuhkan perhatian segera meliputi daerah Kutai Barat dengan izin pertambangan 1,43 juta hektare atau 82 persen dari luas wilayah. Kutai Timur dengan 1,6 juta hektare izin, setara 46 persen daratan. Begitu pun di Kutai Kartanegara dengan luasan 1,10 juta hektare atau sekitar 40 persen wilayah.

JATAM menyoroti bahwa pengawasan izin tambang, reklamasi, dan pascatambang di Kalimantan Timur masih jauh dari efektif, terutama setelah perubahan UU Minerba No. 4 Tahun 2009 yang menarik sebagian kewenangan ke pemerintah pusat.

Meskipun pengawasan secara formal tetap menjadi tugas daerah, Windy mengatakan bahwa orientasi politik pejabat lokal melemah karena tidak lagi memiliki kewenangan penerbitan izin.

Kondisi tersebut, ujarnya, diperburuk oleh keterbatasan jumlah personel. Yakni hanya sekitar 30 inspektur tambang untuk menangani ribuan titik izin aktif. Menurut Windy, peristiwa itu memperlihatkan pola serupa dengan yang terjadi di Sumatera sebelum bencana besar muncul lantaran minim pengawasan, rendah transparansi, dan penegakan hukum yang tidak optimal.

Lebih jauh, kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekstraktif telah menimbulkan dampak langsung bagi masyarakat. Di Sanga-Sanga RT 24, banjir tahunan kian parah karena hilangnya tutupan hutan dan lubang tambang terbuka yang tidak dipulihkan. Material lumpur menerjang pemukiman setiap hujan besar.

Baca Juga:  Antara Harapan dan Ketakutan

Di Kelurahan Jawa, Sanga-Sanga, warga mengalami kekeringan sumber air bersih. Aktivitas penambangan PT Adimitra Baratama Nusantara diduga berkontribusi terhadap hilangnya sumber air tanah warga. Windy mengungkapkan bahwa kejadian itu menggambarkan gangguan serius pada akses air bersih, kualitas lingkungan, dan kesehatan publik.

Untuk mencegah Kalimantan Timur mengalami skenario bencana ekologis seperti yang terjadi di Sumatera, JATAM menilai dibutuhkan langkah kebijakan konkret dan segera. Rekomendasi meliputi pencabutan izin yang terbukti merusak, penghentian ekspansi industri ekstraktif di wilayah hulu, DAS kritis, dan area rawan bencana, dan audit lingkungan menyeluruh terhadap seluruh perusahaan tambang.

Kemudian, diperlukan pembekuan aktivitas tambang selama proses audit, penegakan hukum yang tegas dan terbuka, pemulihan lingkungan pada seluruh lubang tambang dan kerusakan hidrologis, hingga pengembalian ruang kelola kepada masyarakat lokal dan adat.

Windy menegaskan, tanpa langkah politik yang tegas, setiap ekspansi baru hanya akan memperpanjang daftar korban banjir, longsor, dan potensi bencana kemanusiaan lainnya.(salsa/arie)

Leave Comment

Related Posts