Jejak politik 3 anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Timur, yang baru dipertanyakan. Seleksi KPID jadi diragukan, apalagi sejak fraksi PKB tak dilibatkan.
Penetapan 7 anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Timur periode 2025–2028 melalui SK Nomor 03/UKK-KPID-Kaltim/XI/2025 memunculkan sorotan tajam dari publik.
Sejumlah nama yang terpilih diketahui memiliki rekam jejak sebagai kader maupun calon legislatif dari partai politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang independensi lembaga penyiaran yang secara hukum ditegaskan sebagai lembaga negara nonpartisan.
Dalam keputusan tersebut, 7 nama dinyatakan lulus sebagai anggota KPID Kaltim, yakni Agustan, Natalia Suzanty, Siska Sulianti, Awang Mohammad Jumri Syafi’i, Jerin, Daniel Abadi Sitohang, dan Kasno. Selain itu, terdapat 7 nama cadangan yang disiapkan apabila terjadi kekosongan selama periode masa jabatan berlangsung.
Sorotan utama publik tertuju pada rekam jejak politik beberapa anggota terpilih. Salah satunya, Siska Sulianti tercatat pernah menjadi calon legislatif pada Pemilu 2024 dari Partai Amanat Nasional (PAN) untuk DPRD Kota Samarinda Dapil Samarinda 4 dengan nomor urut 2.
Kemudian, Natalia Suzanty, yang juga masuk dalam formasi 7 besar, merupakan Sekretaris DPD PSI Samarinda dan turut maju sebagai calon anggota DPRD Kaltim pada Pemilu 2024. Sementara Daniel Abadi Sitohang diketahui sebagai kader PDI Perjuangan yang pernah mencalonkan diri sebagai legislatif DPRD Kukar dari Dapil 3 Muara Badak.
Catatan politik ketiga nama ini menjadi poin kritis karena berpotensi bertentangan dengan prinsip independensi yang harus dijaga oleh KPID. Padahal, Dalam Keputusan KPI Pusat Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pedoman Tata Cara Pemilihan Anggota KPI, calon anggota wajib menyampaikan surat pernyataan tidak menjadi anggota partai politik, tidak menjadi pengurus organisasi penyiaran, dan tidak menjabat sebagai pejabat publik atau legislatif.
Ketentuan tersebut merupakan turunan langsung dari UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menegaskan bahwa KPI adalah lembaga negara independen dan nonpartisan. Masalah muncul karena publik hingga kini tidak memperoleh kepastian mengenai status ketiganya, apakah telah mundur dari keanggotaan dan kepengurusan partai sebelum ditetapkan sebagai komisioner.
Media ini mencoba menghubungi Ketua Tim Pelaksana, Agus Suwandy yang telah menandatangi SK tersebut, namun tidak mendapatkan jawaban. Kini, Proses verifikasi administrasi, termasuk pemeriksaan rekam jejak dan validasi surat pernyataan bebas afiliasi politik, masih dipertanyakan publik menyoal tidak disampaikan secara terbuka oleh Tim Seleksi maupun DPRD Kaltim ini.
Diketahui, dalam ketentuan BAB III Keanggotaan KPI Daerah pada peraturan KPI Pusat tersebut, pemilihan anggota dilakukan secara terbuka melalui uji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD Provinsi. Dari hasil uji itulah kemudian ditetapkan nama-nama terpilih melalui keputusan gubernur. Minimnya transparansi dalam proses verifikasi dokumen menyebabkan publik mempertanyakan apakah seluruh standar tata kelola telah dijalankan dengan semestinya.
Pengamat kebijakan publik Universitas Mulawarman, Saiful Bachtiar, menilai polemik ini muncul karena publik tidak mendapatkan informasi lengkap tentang proses seleksi. Ia menyebut ada potensi spekulasi liar ketika indikator penilaian tidak disampaikan secara terbuka.
“Kalau muncul spekulasi seperti ini di publik, itu wajar. Karena publik melihat ada nama-nama tertentu yang sejak awal seperti dikawal. Mulai dari tim seleksi, kemudian masuk DPRD, hingga akhirnya ditetapkan sebagai komisioner,” ujarnya belum lama ini.
Menurut Saiful, ketika muncul kesan bahwa nama-nama tersebut telah dipersiapkan sejak awal, publik bisa menduga bahwa proses seleksi hanya bersifat formalitas.
“Jangan-jangan nama-namanya sudah ada dari awal. Kalau persepsi publik sudah ke sana, maka kredibilitas proses seleksi otomatis dipertanyakan,”katanya.
Ia menegaskan, bahwa seleksi komisioner lembaga independen seperti KPID seharusnya mengedepankan objektivitas. Penilaian harus didasarkan pada indikator yang ilmiah, jelas, dan rasional.
“Baik voting maupun aklamasi di DPRD mestinya menggunakan indikator yang dapat dipertanggungjawabkan. Kalau indikatornya kabur, dan ada kesan jatah-jatahan, itu berarti proses seleksinya tidak objektif lagi,”ucap Saiful.
Lebih jauh, Ia menilai, ketidakobjektifan dalam proses seleksi dapat berdampak langsung terhadap kualitas kerja lembaga penyiaran daerah.
“Kalau personalnya tidak berkualitas atau tidak independen, itu akan berpengaruh terhadap kualitas lembaga. KPID memegang fungsi pengawasan konten, terutama dalam tahun-tahun politik. Kalau komisionernya punya latar politik, itu bisa jadi masalah,”jelasnya.
Saiful juga menekankan pentingnya transparansi dari pemerintah daerah dan DPRD. Menurutnya, penjelasan terbuka kepada publik sangat diperlukan untuk menjawab keraguan dan memastikan bahwa seluruh ketentuan hukum telah diikuti.
“Pemerintah yang baik seharusnya memberi penjelasan yang bisa diterima publik, yang punya dasar dan bisa dibuktikan. Itu bagian dari prinsip good governance,”ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, DPRD Kaltim maupun Tim Seleksi belum memberikan pernyataan resmi mengenai status keanggotaan partai dari anggota komisioner yang memiliki latar politik tersebut. Tidak adanya penjelasan publik soal transpransi membuat polemik terus berkembang, sementara KPID sebagai lembaga independen dituntut tetap menjaga kepercayaan masyarakat terhadap integritas pengawasan penyiaran di daerah. (Mayang/ARIE)













